Belajar adalah proses perubahan
perilaku dari tidak bisa menjadi bisa. Menurut Winkel, belajar adalah semua
aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam
lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman.
Senada dengan hal tersebut, Ernest R. Hilgard menyatakan bahwa belajar
merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian
menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang
ditimbulkan oleh lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa belajar adalah usaha
sadar manusia dalam proses interaksinya yang melibatkan aspek psikologis atau
mental ditandai dengan perubahan perilaku dan pola pikir menjadi lebih baik.
Belajar juga merupakan proses perubahan ke arah yang lebih baik. Bila terjadi
perubahan maka di dalamnya ada proses belajar dan sebaliknya bila tidak terjadi
perubahan yang baik dan seseorang tetap saja melakukan kesalahan yang sama maka
tidak terdapat proses belajar di dalamnya.
Sejauh ini proses belajar masih menjadi sebuah
beban psikologis (psychological burden). Lihatlah ketika para siswa
mengetahui bahwa gurunya tidak dapat masuk mengajar maka mereka
akan bersorak sorai sebagai bentuk ekspresi kegembiraan. Kejadian tersebut
menunjukkan bahwa belajar masih menjadi beban yang kurang menyenangkan bagi
murid. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi keadaan semacam ini. Bisa saja
hal ini timbul dari pihak pengajar, dari keadaan internal siswa, maupun
pengaruh lingkungan--keluarga, teman, masyarakat.
Oleh karena itu, para pemangku
kepentingan (stake holder)--siswa, guru, dan orang tua--harus ikut belajar
memahami hakikat belajar itu sendiri agar beban itu berubah menjadi sebuah
kebutuhan untuk belajar. Dengan adanya dorongan dan dukungan dari luar (eksternal) dan motivasi dari dalam diri siswa (internal) diharapkan proses belajar akan menjadi sebuah pemahaman
yang tercipta dalam ingatan jangka panjang (long term memory) para siswa karena informasi yang ditangkap akan diolah menjadi pengetahuan yang bermakna. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka peran guru dan orang tua menjadi sangat penting
untuk ikut menjadikan belajar sebagai kebiasaan positif yang turut membentuk
perkembangan karakter dan kecerdasan yang komperhensif (kognitif, psikomotorik,
dan afektif).
Manusia pada kodratnya dilahirkan
jenius dan memiliki kesempatan yang sama. Dahulu memang kecerdasan dianggap
anugerah Tuhan yang diberikan pada anak-anak tertentu saja, sementara
penelitian membuktikan bahwa "setiap anak lahir dengan jumlah sel otak
yang hampir sama". Kemudian yang berperan pada perkembangan sel-sel otak
selanjutnya adalah asupan gizi dan lingkungan yang mendukung. Penemuan lain
yang mendukung kejeniusan manusia ini adalah ditemukannya suatu "bagian
khusus di dalam otak manusia yang berbeda tiap orang", dimana bagian ini
berfungsi sebagai kemampuan khusus, kita sering menyebutnya "bakat"
atau talenta. Dari beberapa penelitian dikemukakan juga bahwa setiap
manusia terlahir jenius karena mereka dilengkapi dengan apa yang kita sebut
sebagai "perangkat lunak". Perangkat ini disebut juga The Highly Order Thinking atau
Cara Berpikir Tingkat Tinggi, area ini biasanya disebut juga Ultimate
Area dari otak.
Disini terletak fitrah
manusia bisa menjadi "seseorang" yang berarti, mampu bersosialisasi dan
berkarakter. Fakta lain juga membuktikan para peneliti telah menemukan bahwa
otak manusia secara fungsional terdiri atas tiga susunan yang disebut Otak
Reptil, Otak Mamalia, dan Otak Neo Kortex. Otak Reptil berfungsi untuk mengatur
sistem pertahanan tubuh dan refleks seperti contohnya jika kita terkena panas
kemudian menghindar, jika kita terkejut kita meloncat atau berteriak. Otak
Mamalia berfungsi mengatur irama emosi, baik itu emosi positif maupun emosi
negatif. Sedangkan Otak Neo Kortex berfungsi untuk proses berfikir kreatif.
Jadi tinggal masing-masing kita yang sudah dilengkapi dengan kemampuan ini
untuk mengoptimalkan kerja perangkat lunak dalam otak kita sejak dini.
Dengan rasional di atas, ketika belajar menjadi keterpaksaan, maka beban belajar tersebut akan menjadi sebuah
"virus" bagi perangkat lunak/software dalam otak kita untuk menggerakkan semua
potensi diri yang terpendam sehinga terjadi kemacetan aktualisasi diri. Lebih
jauh lagi, kebermaknaan informasi/pengetahuan tidak akan dapat dicapai dalam
keadaan psikologis yang menolak dan terbebani. Oleh karena itu, sebagai
pelajar, seorang murid harus bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa belajar
adalah salah satu proses untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memberi kepuasan
batin akan keingintahuan (curiousity) yang ada pada setiap diri manusia.
Ketika konsep belajar sudah berubah menjadi sebuah kesadaran diri maka belajar
akan menjadi sebuah kebutuhan. Proses belajar pun akan menjadi sangat ringan
dan merupakan bentuk aktualisasi diri untuk mendapatkan "pemuas
dahaga" informasi dan pengetahuan yang nanti akan sangat berguna dalam
kehidupan. Sebuah informasi/pengetahuan yang diterima atas dasar kesadara dan
keikhlasan/kerelaan diri akan menjadi sebuah informasi yang terekam dalam
"software" di dalam long
term memory.
Seperti yang telah dipaparkan di
atas bahwa belajar adalah proses, maka proses belajar berjalan dalam jangka
waktu yang berbeda antar individu. Oleh karena itu, setiap individu harus bisa
mengoptimalkan dan memberdayakan potensi diri sesuai dengan kebiasaan yang
baik, kemampuan dan strategi belajar masing-masing. Kita analogikan seperti
seorang yang harus berlari mencapai target/garis finish, setiap orang punya
langkah yang berbeda untuk mencapai garis finish. Mungkin ada yang membutuhkan
10 langkah, ada yang membutuhkan 15 langkah, ada juga yang membutuhkan 20
langkah untuk mencapai garis finish tersebut. Setiap orang punya kemampuan yang
berbeda untuk mencapai sebuah tujuan yang sama, akan tetapi dengan
usaha/langkah yang berbeda tersebut tujuan itu akhirnya akan sama-sama tercapai
juga.
Selain itu, kesadaran akan
pentingnya ilmu pengetahuan dan kerelaan hati untuk menerima hal-hal baru yang
konstruktif harus menjadi bagian dari diri siswa agar bisa menerima perubahan
positif dalam dirinya dengan baik karena biasanya perubahan itu tidak terjadi
secara tiba-tiba dengan hasil yang memuaskan. Perubahan memerlukan waktu dan
usaha yang kuat serta hasil yang dicapai biasanya tidak akan langsung sempurna.
Oleh karena itu setiap individu yang ingin melakukan perubahan harus menyadari
dan menyikapi dengan baik proses tersebut. Orang yang mempunyai tujuan belajar
dan kesadaran belajar yang tinggi akan menjadi pribadi yang antusias dan
memiliki determinasi tinggi untuk menggali sumber-sumber pengetahuan. Informasi
atau pengetahuan baru akan diserap dengan baik bila seorang yang sedang dalam
proses belajar bersifat seperti sebuah gelas yang kosong yang siap menampung
segala hal baru yang ada tidak bersikap apatis dan menganggap sesuatu yang baru
itu sebagai sebuah beban atau bahkan ancaman.
Ada berbagai macam metode belajar
efektif untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Maka selanjutnya penentuan
pilihan akan metode belajar yang sesuai dan efektif diserahkan pada tiap
individu yang sedang belajar. Setelah pilihan akan metode dan teknik
belajar disesuaikan dengan keadan tiap individu maka diharapkan kegiatan
belajar akan menjadi sebuah kebiasaan baik. Dengan tumbuhnya kebiasaan belajar
yang baik maka diharapkan proses pengalaman belajar bisa membentuk karakter
siswa yang kita sebut sebagai character building. Sebuah kebiasaan
baik yang terus dijaga dan kembangkan akan mengkristal menjadi sebuah nilai
yang akhirnya tertanam menjadi sebuah karakter.
Dengan terbentuknya karakter yang
baik dari proses kebiasaan belajar yang baik maka diharapkan para siswa menjadi
manusia yang memiliki kelebihan dalam luasnya wawasan/pengetahuan (Intelligent
Quotient), sikap/perilaku yang baik (Emosional Quotient), dan kecerdasan
spiritual (Spiritual Quotient) dengan indikator bahwa ada perubahan
sikap, pola pikir, dan kepribadian ke arah yang lebih baik. Orang yang
ber-EQ tinggi maka ia akan berusaha menciptakan keseimbangan dalam dirinya,
bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya dan bisa merubah sesuatu yang
buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat. Sedangkan orang yang ber-SQ
tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada
setiap peristiwa dan masalah yang dihadapi. Dengan memberi makna yang positif
itu ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang
positif. Semoga kita tidak termasuk golongan orang yang merugi karena kita bisa
berubah menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya!